Sabtu, 14 April 2012

Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hama dan Penyakit Tanaman


I.    PENDAHULUAN

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan Hadirin yang saya hormati

Program peningkatan produksi padi hampir selalu menghadapi masalah, terutama serangan hama. Hingga saat ini terdapat tiga hama penting yang merusak tanaman padi yaitu tikus, penggerek batang, dan wereng batang coklat (WBC) Nilaparvata lugens1. WBC menjadi hama utama tanaman padi sejak dimulainya program intensifikasi. Serangan WBC selain langsung mengisap cairan tanaman padi tetapi juga  sebagai vektor penyakit2, sehingga kerusakan tanaman padi secara kumulatif dapat mencapai 30%3. Keunggulan lain serangga WBC dapat beradaptasi dengan lingkungan membentuk tipe dewasa brachiptera (tidak bersayap), makroptera (bersayap) dan biotipe baru4.
Program intensifikasi selama periode revolusi hijau  (1970-1985) telah meningkatkan produksi padi secara nyata dan mencapai swasembada untuk pertama kalinya pada tahun 1984. Namun swasembada beras tidak bertahan lama karena makin beragamnya masalah yang dihadapi dalam usahatani padi, salah satunya serangan WBC secara terus-menerus terjadi dalam skala luas karena resistensi dan resurjensi5 akibat penggunaan insektisida yang berlebihan. Dampak negatif lain juga terjadi pada lingkungan, terbunuhnya musuh alami6,7 dan keracunan pada manusia8. Selama periode revolusi hijau (1970-1980) serangan WBC mencapai puncaknya  yaitu seluas 2,5 juta hektar9, dan periode berikutnya serangan WBC terus menurun terutama pasca Inpres No.3 tahun 1986. Hal ini terlihat dari  luas serangannya hanya + 20.000 ha per tahun selama 20 tahun  (1990-2010)10, namun dua tahun terakhir serangan WBC meningkat.  WBC ini tetap merupakan ancaman dalam peningkatan produksi padi karena serangannya bisa terjadi secara mendadak dan eksplosif bila penerapan teknologi produksi padi tidak tepat.
Dalam mengatasi serangan WBC yang terus meluas pada waktu itu, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 tahun 1986. Inpres tersebut melarang penggunaan 57 jenis insektisida untuk mengendalikan hama padi, sekaligus menerapkan dan mengembangkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara nasional melalui program SL-PHT. Inpres No. 3 tahun 1986 sampai sekarang tetap berlaku, karena 57 insektisida yang dilarang tersebut tidak digunakan pada tanaman padi dan konsep PHT telah diterapkan dan berkembang secara luas, sehingga implikasinya terlihat dari serangan eksplosif WBC  jarang terjadi, biaya usaha tani relatif berkurang,  karena tidak menggunakan insektisida yang menimbulkan resurjen dan sekaligus peranan musuh alami meningkat, dari aspek sosial teknolgi PHT tersebut bisa diterima petani11,12.     
Naskah orasi Profesor Riset ini akan mengungkap peran, potensi dan peluang serta tantangan, arah, strategi serta implikasi kebijakan pengembangan musuh alami dalam pengendalian WBC mendukung peningkatan produksi beras nasional.


II. JENIS DAN PERAN MUSUH ALAMI   DALAM
  PENGENDALIAN WERENG BATANG COKLAT

Majelis dan Hadirin yang saya hormati

Bersama ini dipaparkan jenis musuh alami dan perannya dalam pengendalian hama WBC.
2.1. Jenis Musuh Alami
Secara umum, musuh alami WBC dikelompokkan atas tiga golongan yaitu golongan predator, parasitoid, dan patogen serangga13,14.
 Predator biasanya memiliki tubuh dan fisik yang lebih besar dan pergerakannya lebih cepat dibanding mangsanya, sehingga pemangsaan lebih berhasil12. Predator mempunyai sifat polifag (pemakan segala), dan sifat  ini merupakan keunggulan predator karena mampu bertahan hidup tanpa mangsa utamanya.
Jenis predator  WBC di Indonesia lebih dari 17 spesies,  dua diantaranya sebagai predator utama, yaitu kepik Cyrtorhinus lividipennis dan laba-laba Lycosa pseudoannulata15. Kedua predator ini mempunyai kemampuan memangsa dan kelimpahan yang tinggi di lapangan. C. livdipennis memangsa semua stadium WBC tetapi lebih banyak memangsa telur, sedang laba-laba hanya memangsa nimfa dan dewasa WBC.  
Parasitoid umumnya mempunyai sifat monofag atau oligofag, sifat ini merupakan salah satu keunggulannya karena lebih fokus mengendalikan inang  tertentu. Secara umum parasitoid lebih banyak memparasiti  telur WBC.  Parasitoid yang tergolong “parasitoid soliter” hanya memparasiti satu inang oleh satu  parasitoid dan sifat ini adalah yang efisien dan efektif membunuh inangnya. Tetapi ada sifat lain yang perlu dihindari yaitu “hiperparasitoid”,  karena dapat  memparasiti serangga parasitoid lainnya. Ada dua jenis parasitoid WBC yang banyak dijumpai pada persawahan di Indonesia yaitu Anagrus sp (Mymaridae, Hymenoptera) dan Oligosita sp (Trichogramatidae, Hymenoptera)16.

Jenis patogen serangga yang umum dijumpai pada pertanaman padi dan sudah digunakan dalam pengendalian WBC adalah jamur Metarhizium anisopilae dan Beauveria bassiana. Jamur ini berkembang dalam tubuh inang dan sebagian jamur ada yang mengeluarkan racun sehingga  inangnya mati9. Jamur patogen serangga biasanya diaplikasikan secara inundasi (dalam jumlah banyak) dan dalam bentuk formulasi atau disebut juga dengan insektisida biologi17

2.2. Peran  Musuh Alami
Musuh alami merupakan salah satu mata rantai makanan pada agroekosistem sawah dan peran utamanya adalah memangsa dan memparasiti WBC18. Secara umum dapat dikatakan bahwa musuh alami sebagai pembatas dan pengatur populasi hama yang efektif karena sifat pengaturannya bergantung pada kepadatan (density dependent), sehingga mampu mempertahankan populasi hama pada keseimbangan umum (general equilibrium position) dan tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman12,19. Keberadaan musuh alami  dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, sehingga  tercipta  keseimbangan ekosistem (ecosystem balance)20. Contoh kasus yang terjadi pada ekosistem lahan sawah di Indonesia yang tidak diaplikasi insektisida kimia sintetis, keanekaragaman hayati sangat tinggi yang ditunjukkan oleh tingginya populasi dan banyaknya jenis musuh alami predator (laba-laba, kepik dan kumbang) dan serangga netral lainnya)21,22,23,24.
Sesuai dengan konsep dasar PHT yang dilaksanakan di Indonesia ternyata  musuh alami sangat  berperan sebagai salah satu komponen yang  menentukan keberhasilan pengendalian WBC, dan komponen pengendalian lainnya ditujukan untuk memperkuat peran musuh alami. Kompatibilitas antar-komponen PHT sangat diperlukan agar pengaruhnya secara kumulatif dapat lebih besar. Peran musuh alami lokal akan lebih efisien dan efektif dalam mengendalikan WBC karena sudah beradaptasi dengan lingkungan11.

III.    PERKEMBANGAN PENGENDALIAN  
        WERENG BATANG COKLAT DENGAN 
MUSUH ALAMI

Majelis dan Hadirin yang saya muliakan

Erat kaitan antara  perkembangan pengendalian WBC dengan penggunaan musuh alami, maka periodisasi berdasarkan atas penerapan  komponen teknologi produksi padi terutama dalam hal penggunaan insektisida, pupuk dan varietas, hal ini penting dijadikan sebagai acuan dalam pengendalian WBC, karena sangat erat kaitannya dengan perkembangan WBC dan  musuh alaminya.

3.1. Periode Revolusi Hijau
Pada periode revolusi hijau (1970-1985), perhatian terhadap musuh alami  dalam pengendalian WBC sangat kurang, karena penggunaan insektisida sudah menjadi komponen utama dalam mengatasi serangan hama padi25. Perhatian terhadap pemanfaatan musuh alami WBC baru dimulai sejak adanya ledakan populasi WBC pada tahun 1976, pada waktu itu ditemui tiga jenis predator yaitu kumbang Coccinella sp, laba-laba, dan kepik C. lividipennis2.
Program pemerintah dalam meningkatkan produksi padi pada awal revolusi hijau dengan menerapkan paket teknologi produksi padi yang kurang tepat, yaitu  dengan menggunakan insektisida yang tidak rasional atau berlebihan, pemakaian pupuk yang tidak berimbang, dan penanaman varietas peka,  mendorong berkembangnya WBC sehingga serangannya terjadi secara eksplosif di hampir seluruh persawahan di Indonesia. Periode ini disebut sebagai ”era kebergantungan insektisida”. 

3.2. Periode Sesudah Revolusi Hijau (1986-2006)

Salah satu kebijakan pemerintah dalam mengatasi hama WBC untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan mengeluarkan Inpres No. 3 tahun 1986. Kebijakan ini mendorong pengurangan penggunaan insektisida dan sekaligus memasyarakatkan konsep PHT secara nasional. Tingkat penurunan aplikasi insektisida dalam mengendalikan hama padi mencapai 60% selama kurun waktu tiga tahun, dari >50.000 ton pada tahun 1987 menjadi >20.000 ton pada tahun 199011.
Di samping itu, penerapan PHT makin meluas dan kondisi ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan PHT nasional. Pengembangan PHT terus dilakukan melalui sekolah lapang (SL-PHT) bagi petani secara bertingkat dan kontinu26. Dampak positif program SL-PHT adalah makin sedikitnya penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama padi, bahkan ada petani yang tidak menggunakan sama sekali, sehingga musuh alami  dapat berperan secara optimal dan jarang terjadi serangan WBC secara eksplosif.
Di Indonesia, periode pasca-revolusi hijau dapat disebut sebagai era PHT dalam mengendalikan hama padi, terutama WBC, karena perhatian terhadap pemanfaatan musuh alami sebagai salah satu komponen PHT sudah cukup tinggi. Hasil penelitian mengenai komposisi dan populasi musuh alami pada agroekosistem sawah tanpa pestisida ternyata lebih dominan dibandingkan dengan populasi hama27. Peningkatan populasi WBC di lapangan selalu diikuti oleh peningkatan populasi musuh alaminya28,29,30,31,32. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan musuh alami tanpa gangguan insektisida mampu menghambat pertumbuhan populasi WBC dan menciptakan keseimbangan ekosistem persawahan33. Penggabungan musuh alami predator dengan varietas padi tahan wereng dapat meningkatkan efektivitasnya dalam menurunkan populasi WBC34,35  
Penelitian pemanfaatan musuh alami terus berkembang, baik dari aspek biologi, ekologi, kinerja maupun pengaruh aplikasi insektisida di laboratorium, rumah kaca, dan di lapangan36,37,38,39. Khusus untuk  predator C. lividipennis di samping penelitian kinerja di lapangan yang sudah banyak dilakukan40,41 juga rekayasa genetik untuk mendapatkan individu kepik C. lividipennis yang mempunyai kemampuan memangsa tinggi42.
3.3. Periode Saat Ini (2007-sekarang)
Program pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi beras terus dilakukan untuk mencapai swasembada.  Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) sudah dimulai sejak tahun 2007 sampai sekarang. Implementasi program nasional ini adalah dalam bentuk Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)43. Program SL-PTT ini sejalan dengan upaya pengembangan konsep PHT secara utuh.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi serangan WBC yang cukup luas dan bahkan membuat sebagian pertanaman padi puso, terutama di Jawa. Hal ini terutama disebabkan oleh pengaruh cuaca dan penggunaan vaietas peka serta aplikasi insektisida yang tidak rasional, sehingga peranan musuh alami berkurang44.
Penerapan teknologi produksi padi secara utuh mencakup penerapan konsep PHT  dengan mengacu kepada Inpres No. 3 tahun 1986 akan mendorong tercapainya tujuan P2BN yaitu swasembada beras. Sehubungan dengan itu, pemanfaatan musuh alami sebagai salah satu komponen utama PHT baik pada saat ini maupun dimasa yang akan datang perlu terus ditingkatkan untuk mengatasi masalah WBC secara efektif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pada periode saat ini dan prediksi masa yang akan datang inilah yang disebut sebagai “era pengembangan PHT WBC”.
    
IV.  POTENSI, PELUANG, DAN TANTANGAN  PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Majelis dan Hadirin yang terhormat

Pemanfaatan dan pengembangan musuh alami memiliki potensi dan peluang besar dalam upaya  mengatasi masalah WBC  dengan berbagai tantangannya.

4.1. Potensi
Indonesia yang beriklim tropis ternyata mempunyai kekayaan dan keragaman biologis yang sangat tinggi, termasuk keanekaragaman serangga atau kelompok artropoda secara umum45. Potensi pemanfaatan musuh WBC cukup besar bila dilihat dari berbagai aspek, antara lain:
Aspek kinerja. Tiga jenis kelompok predator WBC adalah laba-laba (L. pseudoannulata), kumbang (Phaederus fuscipes, Ophionea nigrofasciata), dan kepik (C. lividipennis). Predator-predator tersebut umumnya memangsa nimfa dan dewasa WBC, tetapi predator C. lividipennis lebih banyak memangsa telur. Kemampuan memangsa seekor predator laba-laba L. pseudoannulata  rata-rata 15 ekor WBC dewasa per hari. Pada kondisi populasi wereng 55 ekor atau pada rasio populasi predator terhadap WBC 1 : 4-5, predator mampu menekan perkembangan populasi WBC secara efektif39. Jenis kumbang yang banyak ditemukan di lapangan adalah P. fuscipes dan O. nigrofasciata. Kumbang ini bersifat kosmopolit dan kemampuan memangsa relatif sedang, berkisar antara  3-4 ekor nimfa WBC per hari13. Predator C. lividipennis lebih menyukai telur WBC dibanding telur wereng hijau dan wereng punggung putih. Kemampuan memangsa satu kepik predator terhadap telur WBC di laboratorium rata-rata 20 butir/hari, sedangkan terhadap nimfa dan dewasa masing-masing hanya 5 dan 8 ekor/hari36.
Peran C. lividipennis dalam menurunkan populasi WBC di rumah kaca pada varietas peka cukup tinggi. Pada rasio empat ekor predator dan empat ekor WBC (1:1) mampu menurunkan populasi WBC sebesar 79% dan pada rasio empat predator dan delapan WBC (1:2) menurunkan populasi WBC sebesar 72%. Tingkat penurunan populasi WBC lebih tinggi lagi pada varietas tahan, mencapai 95% pada populasi rasio predator dan WBC 1:1 dan 81% pada populasi rasio 1:2, atau lebih tinggi 16% dan 9% dibandingkan dengan kinerja C. lividipennis sendiri28,29.
Kinerja C. lividipennis di lapangan dengan menggunakan kurungan dan varietas peka menunjukkan pada rasio populasi predator dan WBC 1:1 dan 1:2 pada 60 hari setelah dimasukkan mampu menurunkan populasi WBC masing-masing sebesar 99% dan 78%. Waktu kedatangan C. lividipennis yang bersamaan dan 1 minggu setelah WBC dengan rasio populasi predator dan WBC 1:2 efektif menurunkan populasi WBC masing-masing sebesar 90% dan 85%33. Kinerja predator C. lividipennis dan laba-laba L. pseudoannulata  secara bersama-sama meningkat atau efektif menurunkan populasi WBC dibandingkan dengan secara terpisah29.
Ada dua jenis parasitoid yang memparasiti telur WBC yaitu Anagrus sp. dan Oligosita sp. Kemampuan Oligosita sp. memparasiti telur WBC lebih tinggi dibandingkan dengan Anagrus sp., dan tingkat parasitasi Oligosita sp. di lapangan mencapai 45%16.
Jamur patogen serangga B. bassiana mampu mengendalikan populasi hama WBC hingga 40% dan M. anisopliae 23%15,17. Salah satu keunggulan musuh alami patogen serangga ini  adalah dapat diformulasi dan diproduksi dalam jumlah banyak serta dapat diaplikasikan seperti insektisida.

Aspek ekologi mencakup keberadaan, kelimpahan, dan penyebaran di lapangan. Populasi musuh alami WBC serta serangga netral di lahan sawah selalu lebih tinggi dibandingkan dengan populasi hama30,39,46. Keragaman hayati pada lahan sawah yang tidak diaplikasi insektisida cukup tinggi45,47, kebanyakan didominasi oleh predator, kemudian diikuti oleh parasitoid dan artropoda netral dengan jumlah mencapai 17 kali lebih banyak dibanding populasi serangga hama19. Komposisi atropoda predator pada ekosistem persawahan yang tidak diaplikasi insektisida sintetis mencapai 142 spesies yang terdiri atas 72% serangga predator dan 28% laba-laba22. Musuh alami WBC pada lahan sawah di Filipina cukup tinggi dan beragam, yaitu 79  jenis  yang terdiri atas 37 predator, 35 parasitoid, dan 7 patogen38.
Kelimpahan populasi predator C. lividipennis lebih tinggi pada musim kemarau dibanding musim hujan, terutama pada lahan yang tidak menggunakan insektisida. Perkembangan populasi predator C. lividipennis di lapangan berkolerasi positif dengan populasi WBC, artinya perkembangan populasi predator mampu mengikuti perkembangan populasi mangsa WBC, terutama pada tanaman padi fase generatif29, distribusinya di lapangan berupa “negative binomial” atau sama dengan bentuk distribusi WBC pada saat tanaman padi fase generatif48. Predator C.  lividipennis mudah menyebar karena serangga dewasa tertarik dengan cahaya lampu, sehingga terbawa oleh kendaraan pada malam hari49. Secara umum kepik C. lividipennis dapat digolongkan sebagai predator penting WBC50,27,31.
Keberadaan parasitoid Oligosita sp. di lapangan lebih dominan dibanding Anagrus sp. karena mempunyai inang alternatif, seperti wereng hijau. Jenis patogen serangga yang banyak menyerang WBC di lapangan adalah M. anisopliae dan B. bassiana
Kompetisi antar-musuh alami (predator, parasitoid dan patogen) serta inter-predator (laba-laba, kepik dan kumbang) bisa terjadi terutama pada saat populasi mangsa atau inang rendah.
Aspek biologi. Predator C. lividipennis yang diberi makan telur WBC ternyata memiliki tingkat reproduksi bersih (Ro) 44,1 dan laju pertumbuhan intrinsik (r) atau laju pertumbuhan per individu cukup tinggi, rata-rata 0,13 sehingga pertumbuhan populasinya disebut pertumbuhan eksponensial, lamanya satu generasi rata-rata 28,6 hari. Ketiga faktor pertumbuhan populasi tersebut menunjukkan telur WBC cocok digunakan untuk perbanyakan predator. “Function response” C. lividipennis mengikuti perkembangan populasi mangsa. Artinya, kemampuan memangsanya tinggi pada saat populasi mangsa juga tinggi. C. lividipennis betina lebih banyak memangsa WBC dibanding jantan karena betina lebih banyak membutuhkan energi untuk memproduksi telur dan  kemampuan mencari mangsa (a = 0,491) lebih tinggi dan waktu yang dibutuhkan untuk menangani mangsa (Th = 0,031) lebih rendah29.
Secara umum, peranan predator lebih efektif mengendalikan populasi WBC dibanding parasitoid, karena predator dapat memangsa semua stadium WBC, baik telur dan nimfa maupun dewasa15,46. Dilihat dari aspek kinerja, ekologi dan biologi beberapa musuh alami utama yang telah diuraikan di atas maka secara kumulatif perannya dalam konsep PHT  mampu menekan perkembangan populasi WBC secara efektif dan ramah lingkungan.
4.2. Peluang
Mengacu pada potensi yang ada, peluang pemanfaatan musuh alami sebagai salah satu komponen pengendalian WBC dalam konsep PHT sangat besar dan prospektif. Penggunaan musuh alami merupakan prinsip dasar dalam implementasi PHT WBC. Di samping itu, penggunaan musuh alami juga kompatibel dengan komponen pengendalian lainnya, sehingga efektifitasnya akan lebih tinggi.
Sejalan dengan meningkatnya tuntutan terhadap produk pangan yang berkualitas dan aman, perlu dikembangkan usahatani ramah lingkungan. Peluang pemanfaatan musuh alami sangat strategis dalam pertanian ramah lingkungan tersebut, karena salah satu komponen teknologinya adalah PHT. Keberadaan musuh alami dengan jenis dan populasi yang tinggi serta  dapat berperan mengendalikan WBC, ternyata juga  berpeluang meningkatkan keanekaragaman hayati dan mengurangi penggunaan insektisida45. Peluang lain dalam  aplikasi insektisida yang tepat dengan memperhitungkan keberadaan pedator C. lividipennis, laba-laba, dan kumbang predator dapat digunakan untuk menentukan nilai ambang ekonomi WBC9.

4.3. Tantangan
Secara umum ada dua tantangan utama dalam pemanfaatan musuh alami WBC, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup 1) sifat polifag pada predator dan sifat hiperparasitoid pada parasitoid, 2) kemampuan berkembang biak relatif lebih rendah dibanding WBC, dan 3) tingkat adaptasi umumnya relatif rendah. Faktor eksternal mencakup 1) pengaruh faktor fisik, terutama perubahan iklim mikro dan makro seperti cuaca ekstrim, yang dapat mendorong perkembangan populasi WBC lebih cepat; 2) pengaruh kegiatan budidaya seperti penggunaan pupuk yang tidak berimbang dan aplikasi insektisida yang tidak rasional; dan 3) pengaruh biologis seperti kompetisi antar-musuh alami11.
Berdasarkan potensi dan peluang pemanfaatan beberapa musuh alami WBC yang diuraikan tadi akan mampu menghambat perkembangan populasi WBC secara efektif. Namun tantangan yang berat adalah penggunaan insektisida sintesis, karena masih banyak petani yang menggunakan dan menyakini bahwa insektisida dapat mengatasi masalah hama secara cepat.

V. ARAH DAN STRATEGI PEMANFAATAN
MUSUH ALAMI
Majelis dan Hadirin yang terhormat
Sesuai dengan potensi dan peluang yang ada serta tantangan yang dihadapi dalam pengembangan musuh alami utama WBC seperti yang dibahas di atas, maka  perlu disusun arah dan strategi yang jelas dalam pemanfaatannya ke depan.
5.1. Arah Pemanfaatan
Arah pemanfaatan musuh alami ke depan dalam pengendalian WBC adalah: 1) meningkatkan pengetahuan pengguna (petani) terhadap pentingnya peranan musuh alami dalam konsep PHT, 2) meningkatkan peranan  musuh alami WBC lokal dan kalau diperlukan melakukan introduksi untuk menghambat perkembangan populasi WBC secara dini dan berkelanjutan; 3) mendapatkan musuh alami yang mempunyai kemampuan memangsa lebih tinggi dari biasanya,; 4) penerapan dan pengembangan  musuh alami dalam konsep PHT WBC secara utuh.
5.2. Strategi Pemanfaatan
Strategi pemanfaatan dan pengembangan musuh alami WBC disusun berdasarkan kepada arah yang sudah ditentukan yaitu ;
a. Melakukan pemberdayaan petani 
Pemberdayaan dan meningkatkan partisipasi petani dapat dilakukan melalui pelatihan dan sekolah lapang,  diharapkan akan melahirkan petani-petani ahli PHT, dengan penguasaan pengetahuan yang mantap tentang penggunaan musuh alami dalam konsep PHT. Petani ahli PHT juga dapat menjadi nara sumber bagi petani lain, sehingga proses diseminasi teknologi akan lebih cepat dan efektif karena menerapkan model penyuluhan dari petani untuk petani (farmer to farmer).

b. Pengelolaan agroekosistem
      Pengelolaan agroekosistem persawahan yang baik akan menjamin keberadaan dan meningkatkan peranan  musuh alami lokal18,20. Pengelolaan agroekosistem persawahan dapat dilakukan dengan konservasi seperti sistem tumpang sari, yaitu penanaman palawija di pematang atau surjan pada saat ada tanaman padi,  melakukan pergiliran tanaman dan memelihara tanaman lain seperti rumput-rumputan di sekitar lahan sawah, baik pada saat ada tanaman padi maupun dalam keadaan bera. Introduksi musuh alami tertentu juga bisa dilakukan dengan melakukan perbanyakan massal terlebih dahulu, kemudian dilepas secara inundasi pada saat populasi WBC meningkat dan musuh alami lokal tidak berperan.

c. Melakukan penelitian
Berkembangnya teknologi DNA atau rekayasa genetik pada era tahun 1970an berkontribusi terhadap pengembangan penelitian biologi molekuler. Terkait dengan peningkatan kemampuan musuh alami, ternyata  dapat juga dikakukan melalui rekayasa genetik seperti penelitian untuk mendapatkan C. lividipennis yang memiliki kemampuan memangsa tinggi melalui seleksi DNA42

c. Integrasi PHT ke dalam SL-PTT
Program P2BN yang dilakukan melalui SL-PTT43 merupakan suatu wadah  penting dalam menerapkan dan mengembangkan konsep PHT dengan komponen utamanya adalah  pemanfaatan musuh alami. Dalam penerapan konsep PHT WBC perlu memperhatikan keterkaitan antara musuh alami dengan komponen PHT lainnya, agar terjadi kekuatan yang lebih besar dalam mengatasi masalah WBC secara efisien, efektif dan berwawasan lingkungan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Majelis dan Hadirin yang saya muliakan

Berdasarkan paparan tadi dapat disimpulkan dan dicari benang merah implikasi kebijakan bagi pengembangan musuh alami dalam upaya mengendalikan WBC untuk mendukung peningkatan produksi beras nasional.
6.1. Kesimpulan
a. Keberadaan musuh alami berperan sebagai faktor pembatas dan pengatur populasi WBC dalam menciptakan keseimbangan lingkungan.
b. Keragaman dan kelimpahan musuh alami di ekosistem persawahan yang tidak diaplikasi insektisida selalu lebih tinggi dibanding populasi serangga hama, dengan demikian akan berimplikasi pada penurunan serangan WBC
c. Musuh alami berpotensi dan berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai pengendali utama WBC dalam konsep PHT, asal  dapat mengatasi tantangan yang ada terutama mengurangi bahkan kalau bisa meniadakan penggunaan insektisida. 
d. Menjaga keberadaan musuh alami dan serangga berguna lainnya akan meningkatkan keanekaragaman hayati, sehingga ledakan populasi WBC dapat ditahan dan dikendalikan, sehingga produktivitas padi menjadi optimal.
6.2. Saran Implikasi Kebijakan
Penerapan konsep PHT sejalan dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam program SL-PTT. Untuk meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan musuh alami dalam mengatasi WBC dibutuhkan  dukungan pemerintah, terutama dalam; a) menyiapkan dan mendiseminasikan inovasi teknologi pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian WBC secara terpadu dan spesifik lokasi kepada pengguna; b) menyediakan atau melengkapi fasilitas laboratorium dan rumah kaca yang dibutuhkan untuk memproduksi musuh alami WBC yang akan diintroduksikan ke lapangan; c) mengimplementasikan dan mengembangkan konsep PHT secara utuh  dan berkelanjutan dalam program SL-PTT; dan d) melakukan monitoring WBC dan musuh alami secara berkala dan kontinu untuk mengantisipasi perkembangan WBC secara dini, terutama pada kawasan SL-PTT oleh Pengamat Hama Penyakit (PHP) dan petani.

VII. PENUTUP

Majelis Pengukuhan dan Hadirin yang Saya Muliakan.

Allah telah menciptakan bumi dan segala isinya untuk kebutuhan manusia dan kondisi alam ini dalam keadaan seimbang, karena setiap organisme yang ada mempunyai peranan yang berbeda-beda tetapi saling membutuhkan satu sama lain. Dalam Kitab Suci Al Quran sudah dinyatakan bahwa kerusakan di bumi atau ketidakseimbangan ekosistem disebabkan oleh manusia. Firman Allah itu terdapat dalam Surat AR Ruum ayat 30-41 yang berbunyi telah terjadi kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Namun Allah juga berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 11 “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini”. Dengan demikian, memelihara bumi dengan segala isinya  merupakan anjuran agama kepada manusia agar kebutuhannya dapat terpenuhi. 
Pemanfaatan musuh alami merupakan salah satu komponen dalam penerapan PHT WBC yang berorientasi pada lingkungan, karena pengendalian secara hayati ini berperan menciptakan keseimbangan ekosistem. Pemanfaatan musuh alami dalam mengendalikan WBC telah terbukti efektif dan efisien. Oleh karena itu, upaya menjaga dan meningkatkan perananya perlu terus dikembangkan sehingga dapat mengatasi WBC secara efektif dan tidak mencemari lingkungan serta mengoptimalkan produktivitas padi untuk mendukung peningkatan produksi beras nasional.
Pengetahuan tentang agroekosistem sawah dan prinsip dasar pengendalian hama berbasis ekologi saat ini belum sepenuhnya dikuasai dan diterapkan oleh petani. Oleh karena itu, upaya peningkatan pengetahuan tersebut dan pemahaman tentang konsep PHT WBC serta pemanfaatan musuh alami  perlu terus dikembangkan pada wilayah SL-PTT agar petani menjadi mandiri dalam mengatasi hama. Disamping itu perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap peredaran insektisida sintesis terutama insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi pada WBC.
Demikianlah orasi pengukuhan Profesor Riset ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
Atas perhatian bapak, ibu dan saudara semua, sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan dalam penyampaian orasi ilmiah ini.
Wabillahitaufiq walhidayah
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar: